
Dalam bab sebelumnya, ada beberapa pertanyaan mendasar tentang teori dan praktik konseling yang dilontarkan. Hasil akhirnya, konseling adalah sebuah aktivitas yang dilaksanakan oleh manusia. Pemahaman teoritis atau temuan riset hanya dapat diekspresikn melalui perilaku konselor. Tujuan dari bab ini adalah mengeksplorasi keterampilan dan kualitas yang berkaitan dengan konseling yang efektif.
Konsep
yag lebih berguna tampaknya adalah konsep yang mengandung ide kompetensi yang
lebih luas, yang merujuk kepada keterampilan atau kualitas apa saja yang
ditampilkan oleh pelaku yang kompeten dalam pekerjaan tertentu. Dalam beberapa tahun terakhir ini terdapat peningkatan
jumlah riset yang bertujuan mengidentifikasikan kompetensi yang diasosiasikan
dengan sukses dalam konseling dan psikoterapi. Sebagai contoh Crouch (1992)
menyatakan adanya empat area perkembagan keterampilan: kesadaran konselor,
pekerjaan pribadi, pemahaman teoritis, dan keterampilan melakukan pekerjaan.
Larson, et al.(1992) telah membangun model yang memecah kompetensi
konselor yang mereka sebut “efektivitas-diri konselor” ke dalam lima area:
keterampilan mikro, proses, berhadapan dengan perilaku klien yang sulit,
kompetensi kultural dan kesadaran akan nila. Untuk memenuhi tujuan bab ini,
rangkaian pembahasan berikut ini akan diatur dengan mempertimbangkan model yang
terdiri dari tujuh kompetensi area:
1. Keterampilan Interpersonal. Konselor
yang efektif mampu mendemonstrasikan perilaku mendengar, berkomunikasi, empati,
kehadiran (present), kesadaran komunikasi non-verbal, sensitivitas
terhadap kualitas suara, responsivitas terhadap ekspresi emosi,
pengambilalihan, menstruktur waktu, menggunakan bahasa.
2. Keyakinan dan sikap personal. Kapasitas
untuk menerima yang lain, yakni adanya potensi untuk berubah, kesadaran
terhadap pilihan etika dan moral. Sensitivitas terhadap nilai yang dipegang
oleh klien.
3. Kemampuan konseptual. Kemampuan
untuk memahami dan menilai masalah klien, mengantisipasi konsekuensi tindakan
di masa depan, memahami proses klat dalam kerangka skema konseptual yang lebih
luas. Mengingat informasi yang berkenaan dengan klien. Fleksibilitas kognitif,
dan keterampilan dalam memecahkan masalah.
4.Keterampilan Personal. Tidak adanya kebutuhan pribadi atau keyakinan irasional yang sangat merusak hubungan konseling, percaaya diri, kemampuan untuk menoleransi perasaan yang kuat atau tak nyaman dalam berhubungan dengan klien, batasan pribadi yang aman, mampu untuk menjadi klien.Tidak mempunyai prasangka sosial, etnosentrisme, dan autoritarianisme.
4.Keterampilan Personal. Tidak adanya kebutuhan pribadi atau keyakinan irasional yang sangat merusak hubungan konseling, percaaya diri, kemampuan untuk menoleransi perasaan yang kuat atau tak nyaman dalam berhubungan dengan klien, batasan pribadi yang aman, mampu untuk menjadi klien.Tidak mempunyai prasangka sosial, etnosentrisme, dan autoritarianisme.
5. Menguasai tehnik. Pengetahuan
tentang kapan dan bagaimanamelaksanakan intervensi tertentu, kemampuan untuk
menilai efektivitas intervensi, memahami dasar pemikiran di belakang tehnik,
memiliki simpanan iintervensi yang cukup.
6. Kemampuan untuk paham dan bekerja
dalam sisitem sosial. Termasuk kesadaran akan keluarga dan hubungan kerja
dengan klien, pengaruh agensi terhadap klien, kapasitas untuk mendukung
jaringan dan supervisi. Sensitivitas terhadap dunia sosial klienyang mungkin
terlihat dari perbedaan gender, etnis, orientasi seks,atau kelompok umur.
7. Terbuka untuk belajar dan bertanya. Kemampuan untuk waspada dan terhadap latar
belakang dan masalah klien. Terbuka pada pengetahuan baru. Menggunakan riset
untuk menginformasikan praktik.
Hal
diatas berupa garis besarnya, untuk penjelasan lebih lanjut sebagai berikut:
Keterampilan
Interpersonal
Mampu membentuk hubungan yang produktif dengan klien, menyusun laporan atau kontak, merupakan hal yng
ditekankan oleh pendekatan konseling. Analisis awal terhadap area kompetensi
dalam keterampilan ini, mendorong pendidik koseling seperti Ivey untuk
merekomendasikan konselor untuk mempraktikan keterampilan mendengar dan
merenung. Dari analisis kompetensi yang lebih luas, model “aliansi terpeutik”
(Bordin, 1997) menekankan tiga elemen inti pembentukan hubungan kerja yang baik
dengan klien: penciptaan ikatan emosional antara klien dan konselor, pencapaian
kesepakatan berkenaan dengan tujuan konseling, dan pemahaman bersamaan terhadap
tugas untuk mencapai tujuan ini.
Model aliansi ini menyajikan kerangka umum
untuk memahami kompetensi interpersonal yang dituntut dalam konsellig yang
efektiv. Rogers (1957) misalnya, telah memberikan usulan hubungan terapeutik
fasilitatif dimana konselor dapat memberikan “kondisi inti” empati, kongruen
dan neriman.
Hobson (1985) menyatakan bahwa hubugan
antara konselor dan klien tumbuh dari penciptaan “bahasa perasaan” bersama,
yaitu cara berbicara berasama yang mengizinkan ekspresi perasaan klien. Rice
(1974) telah melaksanakan cukup banyak riset tentang nilai penting kualitas
suara terpisah atau konselor.
Hubungan manusia dipengaruhi oleh berbagai
faktor umum, walaupun sulit untuk menetralisir efek hubungan konseling dari
berbagai variabel tersebut, cukup irrasional jika disimpulkan bahwa salah satu
kompetensi penting bagi konselor adalah keharusannya untuk sadar akan pentingnya nilai
karakteristik demografis dan mampu meningkatkan gaya atau pendekatan secara
tepat.
Keyakinan dan Sikap Personal
Sejak pengujian terhadap “keyakinan personal”
oleh Halmos (1965), masih terdapat ketertarikan terhadap ide bahwa semua
konselor yang efektif memiliki sistem keyakinan atau
cara memahami dunia yang mirip satu dengan yang lain. Asumsinya konselor mampu
membantu seseorang karena mereka melihat masalah klien dengan cara tertentu,
dengan demikian para penolong yang mengambil tindakan perspektif yang berbeda
bisa jadi justru menghambat pertumbuhan dan pembelajaran klien.
Usaha paling koheren untuk mengidentifikasi keyakinan dan sikap
yang berkaitan dengan efektivitas konseling dilakukan oleh Combs (1986). Dalam rangkaian 14 penelitian, Combs
menggunakan bukan hanya konselor saja tapi juga anggota profesi pelayanan
kemanusiaan lain seperti pendeta atau guru, Combs dan Sopper (1963) dan Combs
(1986) menemukan bahwa seseorang yang lebih efektif dalam profesi ini cenderung
memandang dunia dari perspektif person-centered.
Penelitian yang dilakukan oleh Combs (1986)
memiliki akar yang kuat dalam aliran person-centered dan client-centered, dan salah satu batasan dari kerja dengan adanya pembatasan dalam dirinya sendiri untuk hanya menguji nilai
penting sikap “person-centered”. Padahal terdapat serangkaian keyakinan
yang lebih luas yang dapat ditunjukkan oleh konselor yang efektif. Akan tetapi dalam memberikan kontribusi
ini kerja Comb sangat relevan dalam memahami keputusan bagi mereka yang bekerja
dalam bidang perawat, pekerja sosial dan lain-lain untuk berpindah karir
memasuki konseling.
Kesimpulannya keyakinan dalam kompetensi ini bukan
hanya mengembangkan beberapa cara memandang dunia dengan cara lain, tapi juga
kesadaran diri yang akurat terhadap dunia. Oleh karena itu konselor dituntut
untuk melepaskan diri dari posisi filosofisnya sendiri sebagai
cara agar para klien mengetahui bahwa ia dapat
menerima perspektif yang berbeda.
Karena itu, banyak pendidikan menyertakan pembahasan “klarifikasi nilai”. Isu
ini juga merupakan hal yang umum terdapat dalam supervisi.
Kemampuan Konseptual
Dalam keterampilan ini hal yang paling
penting adalah bagaimana cara mengatasi kesalahpahaman yang mungkin terjadi
dalam proses konseling. Dimana klien mendatangi konselor karena mereka putus asa dengan kemampuan mereka untuk memahami apa yang
terjadi atau untuk memutuskan apa yang harus dilakukan. Mereka tentunya akan kecewa bila konselor menyatakan bahwa bagi klien untuk mendapatkan pemahaman dan keputusan tersebut
seorang diri. Meskipun demikian, konselor harus mampu menghadapi klien dalam daerah
yang sulit ini, dan karena itu harus kompeten dalam memikirkan apa yang terjadi.
Hanya ada sedikit riset mengenai kemampuan
konseptual atau kognitif konselor. Dalam
ulasan literatur, Beutler, et al.(1986) menemukan tidak adanya hubungan kemampuan akademik konselor
dalam keefektivan konseling yang tinggi. Namun Whiteley et al (1967)
menyelidiki perbedaan level fleksibilitas kognitif dalam diri konselor pada
saat pelatihan memiliki keterkaitan yang kuat pada seluruh kompetensi
konseling. Shaw dan Dobson (1988) menyatakan bahwa “ingatan klinis”- kemampuan
untuk mengingat informasi yang diberikan klien membentuk kompetensi kognitif kunci. Martin et al (1989) menemukan
bahwa konselor yang lebih berpengalaman akan memandang klien berdasarkan sistem
konstruksi yang kompleks secara kognitif.
Dari sebuah riset yang dilaksanakan oleh Klemp dan McClelland
(1986) tentang kompetensi yang ditunjukkan oleh manajer efektif dalam sejumlah
organisasi yang berbeda, dan menemukan kompetensi “inti” yang cenderung
teridentifikasi daalam semua manajer sukses. Salah satu hasil utama dari studi
ini adalah adanya bukti yang jelas bahwa manajer yang lebih efektif mmiliki
kapasitas yang lebih baik untuk mengkonseptualisasikan suatu masalah.
Kompetensi Personal
Sejumlah studi telah mengeksplorasi
pengaruh kepribadian terhadap hasil konselor. Terdapat beberapa bukti yang
cukup bahwa konselor yang baik adalah orang-orang yang menunjukan tingkat
penyesuaian emosional umum yang lebih tinggi dan kemampuan membuka diri yang
besar. Harus dicatat bahwa variabel kepribadian yang tampaknya tidak
diasosiasikan dengan kesuksesan konseling adalah variabel tertutup-terbuka dan
submisivitas-dominan. Studi lain telah mengeksplorasi kemungkinan diasosiasikannya hasil dengan kemiripan perbedaan kepribadian antara konselor dan
klien. Banyak pelatihan konselor yang menganjurkan terapi personal bagi peserta
pendidikan sebagaimana cara untuk meyakinkan pertumbuhan kepribadian dalam
bidang penyesuaian diri dan keterbukaan. Terdapat pula bukti bahwa terapi
personal bermuara pada efektivitas profesional konselor dan psikoterapis dengan
memberikan basis yang kuat tentang kepercayaan diri dan penggunaan diri (Baldwin1997) yang tepat dalam hubungan dengan klien.
Terapis personal mempresentasikan cara unik
untuk mempelajari proses terapeutik, dalam hal terapi tersebut memberikan
wawasan tentang peran klien, dan akhirnya terapi tersebut
memberikan kontribusi terhadap peningkatan umum kesadaran diri dalam diri
peserta didik. Walaupun demikian, terdapat beberapa
kesulitan mendasar yang ditimbulkan oleh praktik terapi personal untuk para peserta
didik. Petama, klien dituntut untuk hadir, bukan digantungkn pada kesediaan
berpartisipasi. Kedua, apabila peserta terlalu jauh terbenam dalam kerja
terapeutik, maka hal tersebut dapat menghancurkan kemampuan emosionalnya
terhadap kliennya sendiri. Ketiga, dalam sebagian institut penyelenggara
pendidikan, terapis personal merupakan anggota staf pelatihan, dan karena itu
bukan hanya melaporkan perkembangan para peserta dalam terapi personal
tersebut, tapi juga-apabila peserta merampungkan program tersebut pada
gilirannya menjadi kolega dari seseorang yang merupakan mantan kliennya. Walaupun
sekarang praktik ini tidak begitu berpengaruh di masa lalu, namun ia
menghadirkan tekanan eksternal tidak biasa yang dapat menyembunyikan manfaat
yang didapat dari terapi tersebut. Karena itu ada alasan untuk berasumsi bahwa
terapi personal dapat dikaitkan dengan kompetensi konselor yang lebih besar,
sebagaimana juga terdapat asumsi yang sebaliknya.
Dalam sebuah studi penting psikoanalitik psikoterapis baru di Swedia,
Sandell, et al. (2000) mampu membandingkan karakteritik personal, pendidikan,
supervisi, dan terapi perseorangan yang membentuk seorang terapis, yang
ditemukan kurang efektif atau sebaliknya, lebih efektif, secara klinis dalam
menghadapi klien. Studi ini mengungkapkan terapis yang kurang efektif
dilaporkan menjalani terapi personal lebih banyak ketimbang kolega mereka yang
lebih efektif. Sandell, et al.(2000) menginterpretasikan hasil ini dengan
adanya kemungkinan terapis yang merasa tidak terlalu baik dalam menangani klien untuk memsuki terapi
personal sebagai cara untuk meningkatkan sensitivitas dan performa mereka.
Sehingga dapat disimpulkan bahwa memberikan terapi personal merupakan elemen pendidikan yang memiliki
potensi
penting serta melanjutkan perkembangan keprofesionalan dalam
diri konselor, dan karena terapi tersebut amat mahal, maka tidak adanya
kebijakan membuat riset terinformasi menjadi sesuatu yang patut untuk disayangkan.
Menguasai Tehnik
Terdapat gerakan substanial dalam beberapa
tahun terakhir untuk mengidentifikasi kompetensi konselor sebagai hal utama
dalam menguasai tehnik. Terdapat fakta bahwa konselor yang
menggunakan berbagai pendekatan konseling yang berbeda akan menghadapi klien
dengan pola yang identik, dan karena itu akan ada perbedaan besar diantara
praktisi yang tampaknya menggunakan model yang sama. Temuan ini menjadi
halangan bagi para periset yang tertarik untuk membandingkan berbagai
pendekatan yang berbeda. Kemudian kompetensi konselor diukur dalam kerangka
seberapa dekat dia dapat mengikuti manual.
Kelemahan pemikiran ini dalam beberapa
studi dan kasus situasi berbeda adalah
keterbatasan penggunaannya dalam menilai kompetensi mayoritas
konselor yang tidak pernah mengklaim mengikuti arahan orientasi tertentu. Lebih
jauh lagi, salah satu karakteristik konselor yang sangat kompeten dan berbakat
adalah kepakaran mereka dalam memodifikasi secara kreatif tehnik atau latihan
sesuai dengan tuntutan klien individual. Akan tetapi harus dicatat bahwa dalam
studi yang menggunakan studi manual instruksi, hasil buruk amat berkaitan
dengan kesalahan atau kekeliruan dalam tehnik. Oleh karena itu menguasai tehnik
merupakan hal penting.
Harus diakui bahwa memiliki serangkaian
tehnik atau apa yang disebut tehnik cadangan, akan menguntungkan. Lazarus (1989
a, b) penemu elektisisme sistematik, dengan jelas merekomendasikan bahwa
konselor yang kompeten harus akrab dengan serangkaian strategi intervensi. Pandangan berbeda datang dari Mahrer (1989; Mahrer, et al.,1987) yang menyatakan bahwa cadangan yang banyak bukanlah suatu keharusan. Ia mengemukakan bahwa
bekerja dalam cakupan teori yang berdekatan menjadi lebih bermanfaat daripada kapasitas dangkal alam dengan menggunakan berbagai tehnik.
Kemampuan untuk Paham dan Bekerja dalam
Ssitem Sosial
Dapat dikatakan bahwa kelemahan sebagian
besar pendekatan konseling kontemporer adalah pandangan yang mereka anut terlalu individualistik terhadap proses konseling. Mereka fokus pada skenario di mana si klien duduk di sebuah kursi
yang berhadapan dengan konselor yang duduk di kursi lainnya. Walaupun demikian,
dalam realitasnya terdapat audien bagi pertunjukan ini, termasuk keluarga dan
teman klien, dan pengawas serta kolega konselor. Konselor dan klien selalu bertindak dalam
sistem sosial, dan tindakan mereka mempengaruhi sistem tersebut. Karena itu
nilai penting kompetensi adalah kemampuan untuk menyadari operasi dalam sistem
sosial tersebut. Karena itu,
nilai penting kompetensi adalah kemampuan untuk menyadari informasi dalam
sistem sosial. Dalam pembahasan tentang kelelahan (burnout) sebelum ini,
dinyatakan bahwa keberadaan sistm pendukung di sekitar konselor merupakan cara
yang baik untuk menghindari kelelahan.
Konselor yang bekerja dalam agensi akan
menyadari tuntutan dan tekanan yang dibuat oleh agensi yang dibuat organisasi. Tekanan tersebut
dapat berupa untuk membocorkan rahasia klien, harapan untuk mempengaruhi perilaku
klien dan pembatasan terhadap pekerjaan
yang dapat dilakukan klien. Konselor yang efektif dalam sistem sosial seperti
ini harus sangat kompeten dalam menghadapi sistem sosial yang menjadi tempat
kerja mereka.
Terbuka Terhadap Pertanyaan
Kompetensi ini mendasari semua kompetensi
yang telah disebutkan diatas. Sebab, merupakan hal penting bagi konselor untuk
terus berusaha secara aktif dalam mencari pengetahuan dan pemahaman dalam situasi dimana proses
atau hubungan konseling membawa mereka melampaui basis pengetahuan yang mereka
kuasai saat ini. Inti dari kompetensi ini adalah kemampuan untuk melaksanakan
temuan riset, dan untuk menggunakan bukti riset untuk menginformasikan praktik
tersebut.
Perjalanan Konselor: Model Pengembangan
Kompetensi Konselor
Kategorisasi dan identifikasi keterampilan
dan kualitas berhubungan dengan afektivitas konseling berfokus kepada
kompetensi yang ditujukan kepada orang-orang yang telah menjadi praktisi.
Banyak konselor yang menemukan makna dalam metafora “counselor journey”
(karya Goldberg, 1988) citra yang memungkinkan mereka untuk melacak akar peran
konseling mereka, dan beberapa perbedaan daerah serta halangan yang mereka
temui di jalan untuk menjadi seorang konselor. Jalan personal dan profesional yang diikuti
oleh konselor dapat dibagi menjadi lima tahap berbeda namun
tumpang-tindih:
1. Peran, hubungan dan pola kebutuhan emosional
yang terbentuk dimasa kanak-kanak.
2. Keputusan untuk menjadi seorang
konselor.
3. Pengalaman menjadi pendidikan.
4. Mengatasi praktik yang berat.
5. Menyampaikan keativitas dalam peran
konseling.
Model ini bersumber dari riset yang
sebagian besar yang dilaksanakan terhadap psikoterapis di AS (Henry,1996,1970),
walaupun ada bukti dilaksanakan riset serupa dalam skala kecil terhadap terapis
Inggris (Nocross dan Guy,1989; Spurling dan Dryden, 1989). Penting untuk dicatat bahwa studi ini
dilaksanakan terhadap terapis profesional penuh waktu. Riset tersebut kurang
memiliki pola motivasional dan proses pengembangan konselor nonprofesional atau sukarela.
Dimensi lain dalam pengalaman masa kanak-kanak terapis berhubungan
dengan apa yang dikenal dengan teori “penyembuh luka” (wounded healer) (Guggenbuhl-Craig, 1971;Rippere and Williams,
1985). Ide ini menyataka bahwa kekuatan dari para penyembuh (pendeta atau dukun
dalam masyarakat primitif, dan terapis dalam masyarakat modern) bersumber dari
pengalaman batinnya terhadap rasa sakit, kehilangan, atau menderita. Keberadaan
luka dalam diri penyembuh membeikan dasar yang sempurna untuk memahami dan
berempati terhadap luka yang diderita klien. Bahayanya adalah luka seorang
penyembuh diperparah oleh tuntutan mereka yang sedang dibantu, dan si penyembuh
mengorbankan dirinya untuk kemajuan mereka. Konsep penyembuh luka ini
memungkinkan kita untuk memahami “pencarian terhadap kesatuan dan integrasi”
(Spurling dan Dryden, 1989), yang menyifati kehidupan banyak konselor dan
terapis dan memungkinkannya untuk mentransformasi pengalaman hidup negatif
menjadi sumber untuk membantu orang lain.
Setelah seseorang memutuskan untuk menjadi seorang konselor, maka
ia memasuki tahap pendidikan formal. Proses pendidikan itu sendiri mengandung
proses perkembangan (lihat Bab 20), tapi seharusnya dipandang sebagai
perspektif perjalanan sebagai keseluruhan tema pendidikan perkembangan inti
dapat dijadikan pengukur kecakapannya dalam menyelesaikan tugas tersebut.
Selama masa pendidikan, seorang onselor harus sampai pada jawaban terhadap
pertanyaan, “apakah saya cukup baik?”
Menjadi “cukup baik” untuk membantu orang yang dihancurleburkan
oleh kehidupan berarti juga harus mempunyi kemurnian, pengetahuan, atau
menghadirkan masalah yang berlebihan, maka semua itu merupakan bukti
kekurangcakapan. Di sisi lain, baik dalam literatur profesional dan kultur
populer terdapat “stereotip psikoterapis sebagai yang maha mengetahui,
menyayangi, fusi artis dan ilmuwan, setting yang dipersiapkan untuk memerangi
kekuatanjahat dalam jiwa manusia” (Brightman, 1984:28). Dalam pendidikan,
seorang konselor merasa rapuh dan tidak cakap, walaupun mereka mengetahui bahwa
mereka harus bersiap menjadi model peran yang potensial bagi klien mereka
(Egan, 1986:28).
Model perkembangan kompetensi konselor menghadirkan sejumlah isu. Tiap tahapan konselor mempresentasikan serangkaian
tantangan kompetensi tersendiri. Bagi
seorang konselor yang berpikir karier dalam konseling, termasuk dalam tugas
pentingnya adalah mengecek kekuatan adaptasi terhadap pengalaman masa
kanak-kanak dan waspada terhadap keseimbangan motif. Dalam memilih orang untuk pendidikan
konseling, sering kali pertanyaan yang paling krusial adalah apakah orang
tersebut sudah siap memberikan bantuannya kepada orang lain, atau apakah dia
pada dasarnya mencari terapi untuk dirinya sendiri. Dalam pelatihan, tantangan intinya adalah mengakui kerapuhan dan menerima “ketidak mampuan” untuk mengetahui segala hal.
Sebagai praktisi yang diakui, kompetensi tergantung kepada pembaruan dan
penyingkapan kembali secara periodik makna personal dalam pekerjaan, dan
membangun jaringan pendukung yang cukup untuk menghindari burning out.
Seperti model perkembangan lain, kegagalan untuk menaggulangi suatu masalah atau tugas
pembelajaran disatutahapan akan membawa implikasi terhadap tahapan berikutnya. Dengan demikian, seseorang misalnya yang tidak mendapatkan pengetahuan tentang
luka masa kanak-kanaknya akan menemui dirinya sangat sulit mendapatkan perasaan
sebagai seorang konselor “yang baik”. Seorang konselor yang sibuk bergulat untuk memenuhi tuntutan harian klien akan kekurangan waktu dan
energi untuk pindah ketahap ekspresi diri kreatif melalui kerjanya.
0 komentar: (+add yours?)
Posting Komentar